Wakil Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Henry Yosodiningrat, menyambangi Mabes Polri, Jakarta, pada Senin (12/2) atau masa tenang. Kehadirannya ini untuk mengklarifikasi atas pernyataannya sebelumnya.
Mulanya, sebagaimana video yang beredar, Henry menyebut Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, memerintahkan Direktur Pembinaan Masyarakat (Dirbinmas) setiap polda memenangkan pasangan calon (paslon) nomor 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Caranya, mengerahkan dai keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) dan memanfaatkan sarana ibadah.
Selain itu, Kapolri juga disebut menggalang dana dari badan usaha jasa pengamanan (BUJP), yang merupakan kolega Direktorat Binmas masing-masing wilayah.
Sebelum ke Mabes Polri, Henry sempat dihubungi beberapa kapolda lantaran pernyataannya itu viral. Dalam saluran itu, anak buah Sigit membantah apa yang disampaikan Henry.
"Benar adanya [pernyataan para kapolda kepada saya], dalam arti tidak pernah ada arahan dari Kapolri. Itu saja," katanya di Mabes Polri. Di Mabes Polri, Henry bertemu Kabaharkam Polri, Komjen Fadil Imran.
Henry melanjutkan, pernyataannya tentang pengerahan kepolisian untuk pemenangan Prabowo-Gibran bermula dari sejumlah grup WhatsApp (WA). "Makanya, saya konfirmasi ke beliau (Kabarhakam Polri, red) dan beliau konfirmasi ke Pak Kapolri."
Sementara itu, Fadil meminta masyarakat tidak langsung percaya atas informasi yang belum tervalidasi kebenarannya. Pun demikian tentang kabar-kabar menyangkut pemilihan umum (pemilu).
"Dengan klarifikasi dari beliau, saya harap informasi yang beredar di masyarakat itu bisa segera dan masyarakat jadi tahu dan bisa memahami. Kita luruskan semua," tuturnya pada kesempatan sama.
Menurutnya, klarifikasi hari ini sekaligus menjadi bantahan atas isu yang merebak. Ia pun tak melanjutkan pernyataan hoaks yang dilontarkan Henry ke ranah hukum. Alasannya, "Persoalan sudah selesai."
Tindak polisi pelanggar
Terpisah, Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti, menyatakan, dugaan pelanggaran oleh anggota kepolisian, termasuk dalam momentum pemilu, harus ditindak. Namun, harus diawali laporan dan disertai bukti kuat.
"Tanpa adanya laporan resmi dengan disertai bukti-bukti, akan menyulitkan bagi pengawas Polri untuk menindaklanjuti," jelasnya kepada Alinea.id.
Poengky meyakini pimpinan Polri bakal menindak anggotanya yang terbukti melanggar karena sudah mengetahui dan memahami bahwa kepolisian wajib netral. Apalagi, hal ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Polri dan berbagai aturan turunannya.
Apalagi, sambungnya, netralitas Polri sudah diterapkan sejak Pemilu 1971. Kala itu, seluruh personel dilarang menggunakan hak politiknya untuk memilih dan dipilih.
"Sehingga, sebetulnya sudah tertanam dalam diri masing-masing anggota Polri untuk tetap netral. Bahkan, jika ada istri, atau anak, atau famili anggota Polri yang menjadi caleg, maka kepada anggota tersebut akan dipindahkan sementara dari posisinya untuk menjaga netralitas," tuturnya.